BP2MI, Pengusaha, Media Narasi dan Komunitas Literasi Nusantara Nyatakan Perang Terhadap TPPO

0
413
Komunitas Literasi Nusantara Menggelar Diskusi - Solusi Jangka Panjang Perlindungan dan Penegakkan Hukum terhadap Korban Human Trafficking di NTT.

jaringanmilenialnusantara.id – Komunitas Literasi Nusantara menyelenggarakan diskusi publik yang bertujuan untuk mencari solusi jangka panjang dalam melindungi dan menegakkan hukum terhadap korban perdagangan manusia di Nusa Tenggara Timur (NTT), bertempat di Café Kantin Kendal Menteng, Jakarta Pusat pada Minggu (25/6/2023).

Diskusi ini melibatkan narasumber hebat, antara lain Benny Rhamdani selaku Kepala BP2MI RI, Fransiscus Go selaku Praktisi dan Pengusaha Asal NTT, serta Maria Goreti Ana Kaka selaku Penggiat Media Narasi, diskusi ini juga dihadiri oleh berbagai komunitas pemuda di NTT.

Diskusi publik ini dipandu oleh moderator Mayo De Quirino dan Karmila Floriani Daro sebagai host. Pembukaan diskusi dimulai dengan pertanyaan mendasar dari Founder Komunitas Literasi Nusantara, Ferdinandus Wali Ate, yaitu apakah kita benar-benar hidup dalam dunia yang adil dan bebas dari eksploitasi manusia.

“Dalam kenyataannya, perdagangan manusia masih merupakan kejahatan yang kejam dan melanggar hak asasi manusia yang terus mengintai kehidupan kita”ungkap Ferdi.

Ferdinandus Wali Ate menyatakan keyakinannya bahwa kita dapat menghadapi tantangan ini dan menciptakan solusi jangka panjang yang efektif dalam melindungi dan menegakkan hukum terhadap korban perdagangan manusia. Diperlukan langkah konkret untuk melawan kejahatan ini dan memberikan perlindungan yang berkelanjutan bagi mereka yang terjebak dalam perangkap ini.

Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, menjelaskan mengenai realitas 423 Pekerja Migran Indonesia di NTT yang meninggal setiap tahunnya akibat kejahatan penempatan nonprosedural yang berujung pada Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Data menunjukkan bahwa hanya pada tahun 2023, BP2MI telah menangani 38 jenazah sejak Januari 2023.

“Kejahatan TPPO adalah kejahatan luar biasa yang telah menjadi isu global. Bicara tentang global, bayangkan, regulasi keluar-masuk barang dagangan saja lebih ketat, daripada regulasi penempatan kerja luar negeri, padahal mereka ini manusia, bukan barang,” tegasnya.

NTT, sebagai provinsi dengan korban TPPO terbesar setelah Jawa Barat, masih belum mendapatkan perlakuan yang adil dari negara. Sosialisasi mengenai bahaya TPPO masih cenderung terpusat di Jawa dan belum merata di NTT.

“Peluang kerja dengan gaji yang besar terbuka lebar di luar negeri. Jika calon Pekerja Migran Indonesia ingin berangkat secara prosedural dan aman, jalurnya pun tersedia. Tapi informasi ini masih tertutup di masyarakat NTT,” ujarnya.

Fransiscus Go, seorang praktisi dan pengusaha asal NTT, mendukung pernyataan Benny Rhamdani. Ia berpendapat bahwa pendidikan merupakan salah satu kunci untuk mengatasi akar permasalahan TPPO. Menurutnya, banyak korban TPPO berasal dari pemuda dan pemudi usia produktif yang tidak terdidik, tidak terlatih, dan tidak memiliki pengalaman yang memadai. Oleh karena itu, pendidikan menjadi kuncinya.

Fransiscus Go menjelaskan bahwa pendidikan yang dimaksud tidak hanya pendidikan formal seperti sarjana, tetapi juga pendidikan keahlian khusus seperti mekanik, teknisi, dan pendidikan vokasional.

“Pemuda-pemudi usia produktif tumbuh terbentuk 1.5 juta tiap tahunnya. Jika tidak dilatih dan dididik dengan benar, bayangkan bagaimana calo dan sindikat menganggap mereka sebagai target yang empuk,” terangnya.

Maria Goreti Ana Kaka, seorang penggiat media, berpendapat bahwa media dapat menjadi salah satu instrumen yang efektif dalam melawan TPPO. Dengan menyajikan informasi secara menarik, kesadaran dan kewaspadaan terhadap TPPO dapat menyebar luas.

Maria menyebutkan bahwa pemuda dan pemudi usia produktif dapat dengan mudah menyerap informasi melalui berbagai media. Media sosial dapat membentuk opini publik di kalangan pegiat digital, media konvensional seperti televisi dan radio dapat mempengaruhi masyarakat yang belum terhubung secara digital, dan media personal seperti teman, kerabat, atau komunitas dapat mempengaruhi individu di lingkungan mereka.

“Pemuda-pemudi usia produktif dapat menyerap informasi secara efektif melalui berbagai media. Media sosial dapat membentuk opini publik di kalangan pegiat digital, media konvensional seperti televisi dan radio dapat mempengaruhi masyarakat yang belum digital, serta media personal seperti teman, kerabat, atau komunitas dapat mempengaruhi individu di lingkungan yang akrab,” pungkas Maria yang juga sebagai praktisi media Narasi.

Diskusi ini menyoroti pentingnya langkah konkret untuk melindungi dan menegakkan hukum terhadap korban TPPO di NTT. Kepala BP2MI, Benny Rhamdani, menyampaikan upaya yang telah dilakukan oleh BP2MI untuk memperbaiki kondisi bagi Pekerja Migran Indonesia, termasuk fasilitas, pembiayaan penempatan melalui KUR, dan perang melawan sindikat perdagangan manusia.

Fransiscus Go menekankan pentingnya pendidikan sebagai upaya pencegahan TPPO dari akar permasalahan, sedangkan Maria Goreti Ana Kaka menggarisbawahi peran media dalam menyebarkan informasi yang membantu meningkatkan kesadaran masyarakat.

Diskusi publik ini memberikan harapan bahwa dengan kerja sama yang baik antara pemerintah, lembaga terkait, masyarakat, dan media, solusi jangka panjang dalam perlindungan dan penegakkan hukum terhadap korban TPPO di NTT dapat terwujud.(*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here