Manusia di Era Komunikasi Digital

0
898
Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital (Buku karya F. Budi Hardiman)

Manusia di Era Komunikasi Digital

Judul              : Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital

Penerbit         : PT Kanisius

Penulis           : F Budi Hardiman

Tahun             : 2021

Tebal              : 271 hlm.

ISBN              : 978-979-21-7039-9

Oleh: Marz Wera

jaringanmilenialnusantara.id – Hidup itu perjalanan melewati beragam horizon kemungkinan. Dua hal yang pasti adalah ruang dan waktu. Millennium III, abad 21 adalah era self connection. Dalam konteks ruang, orang serentak hidup dalam banyak dunia, world polygamy. Dalam konteks waktu orang hidup dengan logika waktu pendek, kesegeraan. Tanpa sadar teknologi semakin dominan menentukan hidup manusia.

Peradaban bergerak nomadik. Fisik juga mental. Pola relasi manusia bergeser dari realitas aktual ke realitas virtual. Dekat tapi jauh. Berjarak tapi dekat. Era aksesoris yang membuat orang hidup dalam kemasan. Era selebritis yang membuat orang hidup dalam dunia seolah-olah. Secara geografis, kini tinggal di suatu tempat tidak berarti sedang atau harus selalu bersama, sebaliknya hidup bersama tidak harus tinggal di satu tempat.

Ungkapan kegelisahan itulah yang menjadi fragmen intelektual “Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital’’ dari karya filosofis-kompeherensif sekaligus reflektif-kritis dari Prof F Budi Hardiman yang secara kontekstual menawarkan kekhasan kajiannya mengenai bagaimana revolusi teknologi digital mempengaruhi eksistensi manusia.

Filosofis-kompeherensif karena penulis dengan sangat teliti menjelaskan lompatan peristiwa mengenai pokok persoalan abad 21 yakni manusia dalam ruang revolusi digital. Berikut, reflektif-kritis karena secara mendalam memuat makna filosofis esensial mengenai hakekat terdalam eksistensi manusia yang mulai mengalami keretakan nilai akibat imposisi global melalui revolusi teknologi digital yang membuat entitas manusia mengalami transisi dari homo sapiens menuju homo digitalis.

Prof Budi Hadirman menamakan era ini sebagai fenomena premo ergo sum. Dunia telah bergeser dari homo sapiens ke homo digitalis, artinya kepastian layar menggeser kepastian realitas. Menurutnya homo digitalis memastikan keberadaannya lewat jari yang mengklik, sesuai dengan asal kata digitalis dari bahasa latin yang berarti ‘’jari.’’ Dunia aktual telah dikolonisasi dengan suatu dunia keseolahan yang mampu menyihir siapa pun.

Aneka aliran saling berlintasan dalam lanskap informasi yang terseret ke dalam ruang imajiner. Membuka kemungkinan meningkatkan kemampuan manusia: mempertinggi daya ingat, meningkatkan kecerdasan secara instan, menanamkan kenangan yang menyenangkan tanpa harus mengalaminya, mengabadikan jiwa antara masa lalu dan masa depan, berkomunikasi dengan kerabat lewat kreativitas membangun brain net.

Hal ini dikarenakan kecanggihan teknologi dengan ekosistem digitalnya melalui sistematika kinerja algoritma dirancang untuk mengenali hakekat terdalam manusia yang ingin diperhatikan dan memperhatikan. Seluk-beluk dunia realitas sudah diterjemahkan kedalam kinerja algoritma. Aktivitas aktual dalam keseharian kita hanyalah secuil data file digital. Interaksi melampui batas wilayah dan kategori. Realitas hanyalah simulasi. Pada akhirnya, dictum ‘’aku berpikir’’ diganti dengan ‘’aku klik’’ tanda era baru homo digitalis.

Homo digitalis        

Homo digitalis adalah makhluk yang dikendalikan media, berfungsi sebagai media, dan mengadaptasi iklim teknologi digital, ikut bermain dalam merakit realitas artifisial dunia digital. Di era revolusi digital individu hidup dengan masyarakat tambahan berupa digital beings, seperti: grup Whatsapp, Twitter, Facebook, Instagram, dan sebagainya.

Teknologi bukan sistem peralatan belakang. Ia bahkan tak bebas nilai. Ada tiga kata kunci untuk menggambarkan itu. Pertama, teknologi sebagai bukti kemajuan sistem pengetahuan, alat dan perilaku yang juga mengakselerasi kemajuan peradaban dan kebudayaan. Kedua, teknologi sebagai nilai karena menjamin efisiensi, utilitas, durabilitas, ameliorasi. Ketiga, teknologi sebagai ideologi karena menjamin apa yang mungkin manusia imajinasikan, prinsipnya kemajuan adalah suatu keharusan, yang nyata hanya materi.

Melalui buku Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital, Prof F Budi Hardiman secara kritis mengisahkan mengenai revolusi teknologi digital yang membuat manusia menemukan ruang eksistensial baru lewat gawai. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, setiap orang bisa menjelma menjadi aktor global lewat ruang digital. Seiring dengan itu, manusia sebagai pengguna juga hanyalah komponen mesin digital gigantis. Gawai jadi medan pengkuan sosial baru untuk memandang diri, memproyeksi diri, orang lain dan dunia. Eksistensi dalam hal ini mengalami pergeseran; hadir tanpa tubuh.

Catatan kritis sisi destruktifnya adalah revolusi teknologi digital mengusung rasionalitas instrumental, manipulasi, dan eksplorasi. Karena hari-hari ini, teknologi justru jadi mesin ruang dan waktu untuk mengendalikan setiap aktivitas manusia. Dalam lingkup yang lebih luas bisa melahirkan distopia yakni destabilisasi sosial politik, kerusakan ekologis, karena manusia dianggap jadi bagian dari dunia mesin; banyak kemungkinan yang bisa dilakukan dan dicapai, tetapi tak tahu apa yang bermakna dan esensial untuk diperjuangkan.

Sebaliknya, bila kita telusuri dari sisi konstruksivis bahwa teknologi diciptakan, dipilih, dan dibentuk dari konteks sosial tertentu sesuai dengan kebutuhan manusia. Pada lingkup yang lebih luas teknologi mengarahkan orang pada utopia dalam arti membantu mewujudkan potensi, hasrat dan imajinasi manusia pada isyarat-isyarat kemajuan peradaban dan kebudayaan, membantu memediasi manusia dan lingkungan, mengintesifikasi interrelasi antar manusia, dan membuat manusia lebih punya otonomi diri.

Homo digitalis bukan sekadar pengguna gawai. Ia juga bereksistensi lewat gawai. Eksistensinya ditentukan oleh tindakan digital  yakni: perilakunya dalam bermedia sosial melalui cara uploading (mengunggah), chatting (ngobrol), posting (mengirim), dan seterusnya. Melalui beragam platform digital tersebut orang berbagi aktivitasnya sehari-hari, pengalaman masa lalunya, kisah hidupnya bersama orang lain untuk kebutuhan akan pengakuan.

Kelahiran homo digitalis tersebut membuktikan bahwa individu di era revolusi digital ini bukan lagi dibentuk oleh tradisi budaya lokal, lingkungan sosial, dan sistem pendidikan, melainkan oleh sistem ICT (Information and Communications Technology). ICT melahirkan fenomena network society (Manuel Castells) yang membuat interaksi antar manusia tidak lagi linear, melainkan multilateral. Karakteristik masyarakat jejaring adalah bebas secara eksternal tapi terkurung secara individu. Menjamin kebebasan sekaligus mengekangnya.

Buku ini diulas secara fenomenologis dengan fokus pada komunikasi digital seperti demokrasi, fanatisme, karya seni, gawai dan pandemik. Prof Budi hardiman memulainya  secara kontekstual tentang revolusi digital yang mengubah kondisi antropologis manusia dengan apa yang di sebutnya homo digitalis. Berikutnya persoalan demokrasi kontemporer ternyata melahirkan problem akut yang berbahaya akibat ekspansi teknologi digital yakni fanatisme.

Kemudian secara mendalam dan kritis pembaca diajak berkelana dengan problem politis yang khas dunia digital yaitu politik pasca-kebenaran. Sejalan dengan itu penulis juga memberi refleksi kritisnya pada masalah kebenaran dan argumentasi tentang pentingnya kebenaran. Lompatan selanjutnya, beliau mereaktualisasi pemikiran Walter Benjamin soal seni dalam era reproduksi digital. Pembaca juga akan berselancar pada konteks komunikasi digital yang berefleksi khusus pada alur pemikiran Martin Heidegger yang fokus pada problem eksistensial dan politis seperti bab 1 di bab 6.

Selanjutnya, penulis secara signifikan dan relevan merefleksikan problem eksistensial pengalaman pandemic Covid-19 yang memaksa dunia untuk meggunakan komunikasi digital. Secara menakjubkan kita menyaksikan revolusi digital dirintis dan berakselerasi dengan memanfaatkan momentum bencana berskala global tersebut. Bahwa Covid-19 memberi pencerahan eksistensial tentang hubungan antara ada dan tiada serta maknanya bagi harapan manusiawi. Jika tidak sanggup memikul absurditas ini, manusia akan berhenti berharap, padahal harapanlah yang memaknai hidup, seabsurd mana pun tampaknya (hlm. 200).

Sebab, dalam ruang digital tidak ada urutan zaman, status sosial, hierarki nilai. Yang privat itu publik, yang publik itu privat. Satu atau banyak sulit diputuskan karena tiap pengguna media sosial bisa memiliki ribuan pemirsa. Naik hierarki digital hanya sejauh satu klik, asalkan provokatif. Pada konteks inilah pentingnya etika komunikasi digital.

Etika komunikasi digital

Komunikasi digital mengandung tiga model sistem kerja yang bisa dilakukan baik individu maupun kelompok yakni produksi, distribusi dan konsumsi, maka lahirlah fenomena netizen. Komunikasi digital selalu mengarahkan manusia pada dunianya sendiri.

Dalam revolusi digital manusia berada dalam tiga ciri tindakan digital. Pertama, dekorporealisasi; komunikasi menjadi bodyless; akibatnya komitmen dan sensibilitas berkurang. Kedua, deteritorialisasi; tiap klik menjadi potensi global. Tindakan kita tercabut dari konteks lokasi tertentu. Ketiga, banalisasi klik lebih cepat daripada keputusan akan kesadaran akibatnya jadi rutinitas yang menumpulkan kesadaran moral.

Menguatnya hoaks, disinformasi dan ujaran kebencian akhir-akhir ini menurut Prof Budi Hardiman, karena setiap orang bisa jadi penerbit, produser, jurnalis bahkan punya media sendiri tanpa ada proses koreksi timbal balik tim kerja redaksi, tanpa seleksi dan pengawasan sama sekali. Sehingga ‘’inilah era dimana pesan lebih penting dari pengirimnya. Di dalam masyrakat informasi, bukan orang-orang yang berkomunikasi, melainkan ‘komunikasi yang berkomunikasi dengan komunikasi.’ Pesan-pesan yang kita kirim direspons dengan pesan-pesan lainnya yang saling berkomunikasi. Sementara orang berfungsi hanya sebagai penerus pesan-pesan itu’’ (hlm. 43).

Pada akhirnya manusia tetaplah tuan atas alat-alat dari perangkap kemajuan yang diciptakannya sendiri. Ketika komunikasi digital kian beragam, maka penulisnya secara mendalam membawa pembaca untuk menjelajahi relevansi pemikiran Aristoteles tentang keutamaan dan Hannah Arendt tentang banalitas kejahatan sebagai pijakan etika komunikasi digital.

Pertama, klik harus dipahami sebagai sebuah tindakan moral. Dalam analisis Aristoteles ini tentang kesengajaan dan ketidaksengajaan, ketidaktahuan dan kekurangtahuan, keputusan dan karakter. Artinya menempatkan kesadaran pelaku sebagai pijakan dalam komunikasi. Kedua, dari klik yang banal karena terbiasa, maka untuk mengatasinya bisa dengan cara tegas dan lunak. Tegas terhadap manipulator digital; petisi online, kampanye online dsb dan lunak dalam etika Aristoteles yakni keberanian, kejujuran, dan keugaharian.

Dengan latar belakang filsafat, Prof F Budi Hardiman melalui buku ini menggugah nalar kritis manusia dan mengajak kita untuk kembali berpikir menemukan kebenaran, memaknai keindahan, dan menilai kebaikan. Dalam konteks filsafat, penulis buku ini sukses merefleksikan secara mendalam dari aspek fenomenologis yang berkaitan dengan komunikasi digital yakni; demokrasi, fanatisme, karya seni, gawai dan pandemic. Sehingga sangat direkomendasikan bagi mahasiswa, akademisi dan para peneliti yang punya perhatian khusus pada dunia ICT, filsafat dan klaster ilmu humaniora umumnya untuk bisa jadi salah satu buku pegangan dalam menganalisis beragam kemajuan teknologi ke depan.

Catatan kritis untuk buku ini bahwa tidak semua kalangan bisa mudah untuk membaca apalagi memahami, karena sejujurnya judul buku sangat menarik peminat orang umumnya, hanya saja tata bahasa lebih menyasar untuk kalangan tertentu. Sisi lain adalah khusus pada bab 8 yang secara spesifik berbicara tentang etika komunikasi digital masih dalam tataran filosofis normatif, artinya buku ini perlu ditemani dengan aspek teknis yang berisi langkah dan kebijakan nyata untuk bagaimana manusia mengadaptasi kemajuan teknologi secara kreatif dan inovatif agar teknologi yang tercipta mampu jadi jembatan kemajuan masa depan bagi homo digitalis yang humanis.

Homo digitalis yang bebas, kreatif, dan menjunjung tinggi moralitas, bukan seperti mesin berjalan. Artinya kita bisa ada di sana sekaligus di sini, tapi tubuh kita entah di mana, itu karena manusia sudah masuk dalam ruang Entframing, seiring dengan waktu Prof F Budi Hardiman mengingatkan bahwa hidup itu perangkap keterbatasan di satu sisi juga punya beragam horizon kemungkinan di sisi yang lain, bukan sekedar, “Aku Klik maka Aku Ada.’’ Kalau tidak masa depan homo digitalis akan tersesat pada “sinar terang yang suram.’’

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here